Pemilu Hancur, Effendi Ghazali Salahkan Presidential Threshold
Ilustrasi Via Blogger
Sumber.com - Salah satu penggagas Pemilu Serentak Effendi Ghazali mengklaim bahwa Pemilu 2019 hancur. Bagi dia, alasan pemilu tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan adalah Presidential Threshold (PT). PT sendiri termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.
Effendi mengatakan bahwa PT membatasai hanya ada 2 calon saja yang akan bertarung di Pilpres 2019.
"Semua hancur gara-gara presidential threshold, yang lebih terlihat sebagai upaya melarang putra dan putri terbaik bangsa untuk ikut masuk dalam kompetisi pilpres. Bahkan, ada kesan ingin membatasi agar hanya terdapat satu pasangan kompetitor dan kalau bisa dicari kompetitor yang terlemah," kata Effendi dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).
Dia menambahkan bahwa jika bertarung hanya dua kubu saja, maka potensi konflik menjadi tinggi. Dia juga membandingkan dengan Pemilu 2004 yang terdiri dari lima kontestan pasangan capres - cawapres yang berlangsung damai.
"Pemilu dua kubu akan menghasilkan konflik 100 persen. Lain kalau misalnya pasangan capresnya ada lima seperti 2004. Maka konflik akan terbagi menjadi bersegi lima," sambungnya.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pihaknya pernah mengajukan gugatan agar Pemilu Serentak dibatalkan saja jika tetap menggunakan PT. Bagi dia, korban jiwa yang terus berjatuhan akibat pelaksanaan Pemilu 2019 adalah karena regulasi, yaitu PT itu sendiri.
"Jadi kami pun, pengaju judicial review ke MK, sudah meminta dari jauh hari agar pemilu serentak versi UU Pemilu dibatalkan saja, kembali ke pemilu seperti 2014," tegasnya.
Diketahui pada 2013 silam, Effendi Gazali mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Dia menilai, tidak serentaknya gelaran pilpres dan pileg yang diatur dalam UU itu telah melanggar hak konstitusional warga negara. Menurutnya, gelaran pilpres dan pileg yang tak serentak juga membuat boros anggaran. Jika kedua pemilihan itu dilaksanakan bersamaan, maka diperkirakan akan menghemat biaya hingga Rp 120 triliun.