Menengok Kembali Alasan Kenapa Pemilu Dillakukan Serentak; Diusulkan Effendi Ghazali CS Hingga Diteken Presiden
Ilustrasi Via Blogger
Sumber.com - Tahun politik 2019 Indonesia mencatat sejarah baru. Pada tanggal 17 April, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi Pemilu 2019 yang dilakukan secara serentak. Artinya, selain pemilihan presiden dilakukan juga pemungutan suara wakil rakyat yang akan duduk di Senayan.
Yang dipilih di Pemilu 2019 adalah presiden dan wakil presiden, anggota DPR-RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota DPD. Kecuali DKI Jakarta, yang hanya empat kertas suara —tanpa DPRD kota/kabupaten. Ada lima kotak suara yang dicoblos warga. Sekaligus.
Terdapat 16 partai yang mempertarungkan para calonnya, plus empat partai daerah yang khusus bertarung di Aceh.
Biaya penyelenggaraan Pemilu 2019 ini dianggarkan sebesar 24,8 triliun rupiah. Ini meningkat sekitar 700 miliar dibandingkan Pemilu 2014, yang diselenggarakan dengan biaya 24,1 triliun. Namun Pemilu tahun 2014, hanya Pemilu legislatif. Kali ini dilangsungkan serentak dengan pemilihan Presiden dan wakil presiden.
Diketahui, pada pesta demokrasi sebelumnya, tahun 2014 dilakukan dua pemilu: pemilihan legislatif berlangsung pada 9 April untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dan 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan para anggota DPRD Provinsi dan DPRD kota/kabupaten.
Paska hari pencoblosan 17 April 2019, perhitungan suara pun mulai dilakukan. Namun belakangan, beberapa pihak menduga adanya kelalaian yang dilakukan petugas yang mengakibatkan adanya selisih di beberapa TPS dengan hasil yang diterima Komisi Pemilihan Umum. Dengan kata lain, ada banyak ketakcocokan data hasil perhitungan.
Di beberapa daerah dilakukan perhitungan suara ulang, sementara KPU masih melakukan perhitungan hingga setidaknya hingga batas waktu 35 hari setelah hari pencoblosan sebelum mengumumkan hasil real count. KPU terus bekerja, demikian juga dengan petugas di lapangan.
Beberapa diantaranya ada yang kelahan dan jatuh sakit. Korban sakit mencapai ratusan. Tak sedikit juga petugas KPPS yang meninggal dunia, diduga karena kelelahan. Kemudian ada pula aparat yang juga meregang nyawa saat mengamankan hajat tersebut. Berbagai permasalahan tersebut membuat KPU akhirnya menyerah.
KPU menilai pelaksanaan pemilu serentak dengan lima surat suara cukup sekali pada Pemilu 2019 karena tidak efektif dan di luar kapasitas.
"Cukup sekali pemilu serentak yang seperti ini. Dengan menyertakan lima surat suara atau lima kelompok pemilihan, sudah terbukti paling tidak saat ini melebihi kapasitas," ujar Viryan Aziz di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Ia mengusulkan ke depan menggunakan pendekatan pengelompokan pemilu menjadi pemilu nasional dengan kelompok pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI dan DPD dan pemilu lokal dengan dua pilihan. Dua pilihan untuk pemilu lokal adalah pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, wali kota dan bupati digabung menjadi satu serta dipilah misalnya tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota.
"Tentunya ini perlu kajian yang mendalam. Kalau tidak, sebagai awalan untuk melihat ke depan tentunya ini patut dipertimbangkan," kata Viryan.
Menurut dia, pemilu sebaiknya bukan dilihat secara terpisah dengan pilkada, tetapi sudah saatnya pilkada juga dianggap sebagai rezim pemilu. Dengan begitu, kata dia, regulasi yang disusun sebaiknya terkait berapa pemilihan yang dapat dilakukan bersamaan atau tidak.
Kenapa pemilu dilakukan serentak?
Bermula saat akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak (KMPS) menggugat UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu terregister dengan nomor 14/PUU-XI/2013. Alasan Ghazali cs simple saja, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya.
Berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, yang mereka kutip dalam permohonan, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp 5 sampai Rp 10 triliun. Sedangkan berdasarkan perhitungan Anggota DPR F-PDIP Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD.
Singkatnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Majelis hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
Dalam beberapa penjelasannya, Mahkamah beralasan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg, ditemukan fakta capres terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan.
Negosiasi politik itu dinilai lebih banyak bersifat sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
"Menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang," kata majelis MK dalam putusannya.
Tak hanya itu, penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 juga dinilai sesuai dengan original intent dan penafsiran sistematik Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” lanjut putusan tersebut.
Effendi senang sekaligus menyesal atas putusan MK. Senang karena MK telah mempertimbangkan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau golongan, dan menyesal kenapa pemilu serentak dilakukan pada 2019, bukan 2014.
Akibat putusan itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) langsung menyusun UU Pemilu baru dengan memasukkan ketentuan pemilu serentak.
Setelah melalui proses pembahasan yang alot di DPR, khususnya perdebatan mengenai Presidential Threshold, akhirnya UU Pemilu diketok pada Jumat (27/7) malam. Selanjutnya Presiden Jokowi mengesahkan UU Pemilu tersebut pada 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly sehari setelahnya.
Source: BBC, Kumparan, Okezone