Voyager Sang Penjelajah Tata Surya, Saat Musik Gamelan Berkumandang Di Ruang Angkasa

Voyager Sang Penjelajah Tata Surya, Saat Musik Gamelan Berkumandang Di Ruang Angkasa

image 3

Foto: The Irish Times

 

Sumber.com - Sudah sejak lama manusia penasaran soal adanya kehidupan lain di luar angkasa. Demikian halnya dengan Badan ruang angkasa Amerika Serikat (NASA). Tahun 1977, NASA mengutus dua wakil dari bumi untuk mencari jawaban soal kehidupan di planet lain. Adalah Voyager, pesawat yang diutus NASA untuk mencari kehidupan lain, serta kemungkinan planet yang bisa dihuni.

 

Dalam perjalanannya, Voyager membawa piringan tembaga berlapis emas. Piringan emas ini berisi suara-suara serta gambar-gambar pilihan yang bertujuan menggambarkan keanekaragaman makhluk hidup dan budaya di Planet Bumi. Piringan dibuat dari tembaga berlapis emas, dan ditujukan kepada bentuk kehidupan luar angkasa yang cerdas atau manusia Bumi di masa depan yang mungkin akan menemukannya.



Wahana antariksa Voyager akan menghabiskan waktu sekitar 40.000 tahun untuk mencapai tata surya yang terdekat. “Terdekat” di sini artinya adalah jarak yang setara dengan 1,7 tahun cahaya. Maka dari itu, piringan emas ini akan membutuhkan waktu yang amat sangat lama sekali untuk bisa ditemukan oleh bentuk kehidupan lain, kecuali bila bentuk kehidupan asing itu sendiri yang tidak sengaja berpapasan dengannya di luar angkasa.

 

Isi dari piringan emas ini dipilih untuk NASA oleh sebuah tim yang diketuai oleh Carl Sagan dari Universitas Cornell. Dr. Sagan dan timnya mengumpulkan 115 gambar berikut sebuah rekaman suara-suara alam, seperti suara ombak, angin, petir, serta suara-suara binatang, termasuk kicauan burung dan suara dari ikan paus.

 

Selain itu, piringan ini juga diisi dengan musik dari berbagai budaya dan era yang berbeda, serta ucapan salam dalam 55 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Piringan emas ini juga menyertakan pesan tercetak dari Presiden Jimmy Carter dan Sekretaris Jenderal PBB saat itu, Kurt Waldheim.

 

Piringan emas ini juga menyertakan beberapa hal yang berkaitan dengan budaya manusia, termasuk musik. 

 

Dalam proses seleksi tersebut, musik gamelan dari Jawa muncul sebagai salah satu usulan. Judulnya Puspawarna, yang liriknya dibuat oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV dari Surakarta (1853-1881), untuk mengenang istri dan selirnya. Puspawarna terkenal di Jawa Tengah dan biasanya dimainkan untuk menyambut pangeran masuk ke istana.

 

Penggagasnya adalah Robert E. Brown, seorang etnomusikolog asal Amerika yang pernah merekam musik Puspawarna secara langsung pada 1971 di keraton Paku Alaman.

“Puspawarna (beragam warna bunga) merujuk pada simbol selera Hinduisme orang-orang Jawa. Namun layaknya bunga, ia juga simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai mekarnya dua wujud krusial dalam pembentukan materi tata surya di masa awal penciptaan; bintang-bintang dan galaksi,” tulis David Darling dalam Deep Time.

Puspawarna dimainkan Tjokrowasito (K.P.H. Notoprojo), maestro gamelan Indonesia di masanya. Lahir 17 Maret 1909 di Yogyakarta, kariernya sebagai musisi gamelan naik ketika ditunjuk sebagai pemimpin gamelan Paku Alaman tahun 1962. Tahun 1971, dia pindah ke California untuk mengajar gamelan di Institut Seni California dan mencetak generasi-generasi pertama musisi gamelan di Amerika. Dia meninggal dunia di usia 98 tahun di Yogyakarta, pada 2007.

“Lou Harrison menghormati jasa-jasa Pak Cokro dengan mendedikasikan sebuah komposisi untuknya. Juga mengusulkan sebuah bintang untuk dinamai dari nama Pak Cokro,” tulis Elon Brinner dalam Music in Central Java: Experiencing Music, Expressing Culture.

Lou Harrison adalah komposer kenamaan Amerika yang juga salah satu murid Tjokrowasito. Pada 1983, sebuah bintang baru di rasi Andromeda dinamakan “Wasitodiningrat”, merujuk nama Tjokrowasito ketika dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Paku Alaman.

“Ini bukan hanya satu-satunya hubungan antara Pak Cokro dan luar angkasa. Ketawang Puspawarna yang dimainkan atas arahannya terpilih menjadi salah satu musik yang dikirim ke luar angkasa dalam wahana Voyager tahun 1977 yang mewakili peradaban manusia di jagat raya,” tambah Brinner.

Puspawarna yang berdurasi 4 menit 43 detik dicantumkan bersama karya musisi dari berbagai benua di Timur dan Barat. Ia bersanding dengan karya-karya klasik gubahan Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven. Total durasi musik adalah 90 menit.

 

Para ilmuan menyimpulkan bahwa kecil kemungkina Voyager bisa menemukan kehidupan di luar angkasa karena cakupannya relatif keci, hanya sebatas tata surya. Karena itu, Voyager lebih sering dianggap sebagai kapsul waktu yang mungkin akan ditemukan kembali oleh peradaban manusia di masa depan.

 

Namun dibalik misi tersebut, Indonesia boleh berbangga diri karena salah satu kebudayaannya kini tengah berkumandang di ruang angkasa; Puspawarna