KPAI Tak Setuju Pelajaran Agama Dihapus di Sekolah: Itu Hanya Usulan WNI Bernama Damono

KPAI Tak Setuju Pelajaran Agama Dihapus di Sekolah: Itu Hanya Usulan WNI Bernama Damono

Sumber.com - Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. Dia menilai saat ini agama telah menjadi alat politik, alasannya karena dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.





"Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda," kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7) lalu.

 

Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menentang keras usulan Darmono perihal wacana penghapusan materi pendidikan agama di sekolah. Dia mengatakan bahwa Damono hanya memberikan sebuah usulan yang pada dasarnya bisa diabaikan oleh pemerintah.

 

Menurutnya, pemerintah sendiri tidak pernah memiliki rencana untuk menghapus mata pelajaran agama di sekolah.

 

“Sebenarnya, polemik tersebut muncul hanya dari usulan seorang WNI bernama Darmono, hanya usulan, bahkan sebenarnya usulan tersebut dapat diabaikan pemerintah, karena pemerintahan Indonesia memang tidak pernah merencanakan penghapusan pelajaran agama di sekolah,” kata Retno dalam siaran pers Senin (8/7).

 

Retno berujar, apabila menghapus pelajaran agama artinya bukan saja pendidikan agama Islam namun juga ada pendidikan agama Hindu, agama Budha, agama Konghucu, Kristen dan Katolik. Padahal Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sambung Retno, menyatakan bahwa lingkungan sekolah memang bukan satu-satunya tempat anak-anak belajar, termasuk perlunya belajar pendidikan agama. 

 

Karena masih ada pendidikan di lingkungan keluarga yang pertama dan utama menenamkan karakter anak, dan juga pendidikan di lingkungan masyarakat.


“Ki Hajar menyebutnya dengan istilah ‘Tri Pusat Pendidikan’ artinya, pendidikan agama sejatinya memang diajarkan di semua ranah, yaitu di keluarga, di sekolah dan di masyarakat,” tutur Retno.

 

Namun begitu, Retno mengatakan bahwa dalam proses belajar - mengajar khususnya dalam mata pelajaran agama masih ada kekurangan. Salah satunya adalah soal tertutupnya ruang dialog antara siswa dan guru, karena selama ini mata pelajaran agama lebih bersifat teoritis.

 

“Menyoroti kegiatan pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu yang selama ini berlangsung di sekolah, memang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis,” beber dia. 

 

Meskipun dalam Kurikulum 2013, guru dituntut melakukan proses pembelajaran dengan prinsip 5M atau mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis dan mencipta. Namun pada implementasinya mayoritas guru berbagai mata pelajaran, termasuk guru agama lebih mengedepankan mengingat.



“Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir, proses pembelajaran di kelas lebih diarahkan kepada menghafal informasi,” ujarnya.